Tuesday, December 7, 2021

Pao An Tui, Sisi Kelam Masyarakat Cina di Indonesia


Pao An Tui saat berlatih bersama Pasukan Belanda KNIL


Belanda pernah memiliki laskar bersenjata etnis Cina, Pao An Tui (Pao An Tui) saat menjajah Indonesia, agresi ke 2. Pasukan ini merupakan bagian dari KNIL, pasukan berisi pemuda-pemuda cina yang pro Belanda. 

Menurut Chalmers A. Johnson, di Negeri China, dalam Peasant nationalism and communist power: the emergence of revolutionary China, menuliskan ada perbedaan penyebutan kata Pao An Tui.  Chalmes mengatakan sebelum kedatangan Jepang, Pao An Tui   yang sering diartikan Barisan Penjaga Lingkungan ini, kali pertama dikerahkan untuk milisi distrik (hsien) di daratan Cina. Chalmers menyebut dalam bukunya Pao An Tui   berada di bawah pemerintahan nasional pimpinan Chiang Kai Sek.

Di Indonesia pembentukan Pao An Tui diperkirakan saat kedatangan Belanda Kedua mulai tahun 1945 sampai 1949 saat itulah Poh An Tui terbentuk oleh Tentara Belanda.  Sebelum kedatangan Jepang, masyarakat Cina di Indonesia terpecah menjadi tiga yakni, kelompok Sinpo yang berorientasi ke negeri leluhur, Chung Hua Hui pro-Belanda, dan Partai Tionghoa Indonesia (PTI) pro Indonesia.

Sayang, Jepang membubarkan semuanya dan membentuk Hua Chiao Tsung Hui (HCTH). Pada 15 Oktober 1945, atau setelah Jepang meyerah kepada sekutu, masyarakat Tionghoa di Jakarta kembali membentuk kelompok baru, Chung Hwa Tsung Hui (CHTH) yang pro Kuomintang.  Kondisi pun kembali berubah saat kedatangan kembali Belanda. Hal ini memicu perlawanan di hampir seluruh wilayah di Indonesia. Para penjahat membentuk laskar liar yang tak berinduk ke mana pun, dan bergerak sesuka hati, mengacu pada laskar yang sering menyerang Belanda tanpa diketahui sumber dan asalnya. 

Sebuah informasi menyebutkan Chung Hua Hui Tangerang membentuk Pao An Tui   sebagai sayap militer, dan para tuan tanah membentuk tentara. Keduanya punya tujuan sama, yakni membentuk negara Capitanate of Tangerang dengan dukungan Belanda. Selain di Tangeran Poh An Tui juga melakukan pemberotakan di Bagan Siapi-api, Riau, dengan mengibarkan bendara Cina, dan akhinnya habis diberantas oleh  TKR saat itu.


Ketegangan etnis Cina dan pribumi pun terjadi setelah Pertempuran 10 Nopember 1945, pribumi dan laskar liar mulai menyerang etnis Tionghoa di kota-kota mereka. Penyebabnya adalah orasi radio Bung Tomo beberapa hari selepas pertempuran 10 Nopember 1945. Bung Tomo menuduh orang Cina memihak Belanda. Ia mengobarkan sentimen anti Cina. Orasi Bung Tomo itu didengar banyak orang dan memicu gelombang serangan terhadap etnis Cina.

Situasi ini membuat etnis Tionghoa berada dalam posisi sulit. Dwicipta mengangkat suasana ini dalam sebuah cerpen berjudul Pao An Tui.  Bung Tomo berdalih, tudingan itu disampaikan setelah mendengar laporan Soemarsono — pemimpin Pemuda Republik — yang pasukannya berhadapan dengan Pao An Tui. Semua itu ditulis Soemarsono dalam memoirnya.

Pertanyaannya, sejak kapan etnis Cina Surabaya membentuk Pao An Tui  ? Andjarwati Noordjanah, anggota Komunitas Tionghoa di Surabaya, mengungkapkan bahwa  Belanda datang kembali ke Indonesia mereka terlibat dalam aktivitas pembentukan kembali perkumpulan Cina di Surabaya. Kata dia, sebagian tokoh Tionghoa Surabaya berpihak ke Republik. Lainnya memihak Belanda, karena merasa bahwa pasukan republik tidak akan menang.  Saat itulah terjadi pembentukan Pao An Tui   yang disponsori Belanda itulah sebagian kelompok pro-Republik memboikot.



Stigma pro-Belanda telah menempel di kening etnis Cina. Di Medan, dengan bantuan oknum TKR, laskar liar menyerang  etnis Tionghoa sepanjang Desember 1945. Puluhan orang tewas dalam peristiwa ini.   Kejadian itu memantik respon masyarakat Tionghoa Medan untuk membentuk Pao An Tui . Awalnya, anggota Pao An Tui   Medan sangat sedikit, bersenjata ala kadarnya, dan miskin pengalaman tempur.

Namun mereka gagal melindungi masyarakatnya. Seorang anggota polisi militer Belanda, AJ Van Veen menulis “Pada Desember 1945, komunitas Cina berinisiatif melawan serangan. Mereka membentuk Pao An Tui  , dengan Lim Seng sebagai komandan. Maret 1946, Pao An Tui   mendekati Inggris untuk memperoleh senjata.” Puncaknya akhir Januari 1946, setelah serangkaian pembantaian mengerikan, 12 ribu Cina Medan turun ke jalan untuk memprotes pembantaian. Mereka membawa spanduk bertuliskan Republik Mengkhianati Kami.



Abdul Baqir Zein, dalam Etnis Cina dalam potret pembauran di Indonesia, menulis bahwa komandan pasukan Inggris Jenderal Ted Kelly melatih 110 pemuda Cina. Hanya dalam waktu singkat Pao An Tui   menjadi milisi andal. Mereka menguasai taktik perang kota dan memiliki senjata lengkap, yang membuat laskar rakyat dan TKR kewalahan.

Kwee Thiam Tjing menulis; Pao An Tui   Medan menjadikan wijk (permukiman) Cina sebagai wilayah markas mereka. Namun berembus kabar Belanda dan Inggris juga menggunakan mereka sebagai informan dan mata-mata. Setelah meraka kuat dan tak akan mampu dikalahkan  Pao An Tui  , yang merasa kuat, menyerbu Bagan Siapi-api, sebuah kota di pinggir pantai di Riau,  mereka meneror dan membantai pribumi ribuan pribumi tewas.

Menurut Soedarno Mahyudin, penulis buku  Gema Proklamasi Kemerdekaan RI dalam Peristiwa Bagansiapiapi, penerbit adicita (2006), meletusnya peristiwa Bagansiapiapi  yang dikenal sebagai "peristiwa bendera", dipicu oleh tersumbatnya komunikasi antara warga pribumi dengan etnis Cina yang kala itu mengibarkan bendera Cina, Kuo Min Tang tanpa didampingi bendera merah putih, simbol identitas negara Indonesia yang baru saja merdeka. Kondisi ini menjadikan masyarakat pribumi khususnya Melayu, merasa terinjak-injak harga dirinya.

 

Terlebih, permintaan penurunan bendera diabaikan oleh warga Cina. Pertikaian ini berakhir dengan tewasnya Kapitan Lu Cin Po, pemimpin warga Cina. Warga Cina dengan pasukan Cina-nya yang diberi nama Poh An Tui, ganti membunuh warga Indonesia. Bantuan diantara etnis Cina di Medan, Singapura, dan Malaysia serta suplai senjata memperkuat posisi etnis Cina di Bagansiapiapi.  peristiwa Bagansiapiapi berkecamuk dengan sangat tragis. Nyawa tak lagi berharga di tengah kobaran emosi yang menyala. Dalam kurun waktu yang sangat singkat, sejak Maret hingga September 1946 peristiwa ini telah merenggut lebih dari 2.500 jiwa.

 


Komandan Divisi I Tebing Tinggi Achmad Tahir naik pitam, dan memerintahkan pasukan Djamin Ginting membalas ke Bagan siapi-siapi untuk menegakan marwah republik Indonesia.   Bara kemerdekaan tengah membuncah ke dalam jiwa bangsa Indonesia, sikap dan perbuatan warga Cina di Bagansiapiapi justru dianggap melecehkan kemerdekaan dan kedaulatan pemerintah Indonesia yang belum lama terbentuk (hlm.15).  Pasukan Poh An Tui dengan pimpimnan Lim Seng terdesak dan mundur ke Medan dan melakukan kegiatan mereka di Medan. 

Pembantaian juga terjadi di Tangerang pada 3 Juni 1946. Informasi penyebab kerusuhan simpang siur. Rosihan Anwar menulis penyebabnya adalah penurunan bendera merah putih yang dilakukan etnis Cina pro Belanda.

No comments: