
Oleh Dedi Iskamto
Jakarta selalu identik dengan masalah kemacetan lalu lintas. Ada pameo “Bukan Jakarta namanya, kalau tidak macet”, akhirnya Jakarta menjadi gudang permasalahan kemacetan lalu lintas di jalan raya. Dampak dari kemacetan ini tidak hanya kerugian waktu yang terbuang percuma, tetapi juga masalah polusi, terutama polusi udara yang diakibatkan bahan bakar yang dibuang sia-sia. Sumber polusi udara adalah kualitas bahan bakar yang digunakan dan banyaknya kendaraan yang digunakan. Semakin banyak kendaraan yang beroperasi, semakin parah pula polusi udara yang ditimbulkan
Saat ini, jumlah kendaraan di Jakarta tercatat 5.553.447 (otomotif 02/2005), dari jumlah tersebut, 58 persen adalah sepeda motor, kendaraan pribadi 1.554.402 (sekitar 28 persen), dan kendaraan umum hanya 6 persen.
Keadaan ini menunjukan bahwa sebenarnya jalan raya di Jakarta hanya dipenuhi oleh kendaraan pribadi yang menyebabkan Jakarta macet yang sekarang kita rasakan semakin kronis.
Solusi yang dilakukan oleh Pemerintah dengan membuat Flyover, Underpass, dan penambahan ruas jalan tidak memecahkan masalah. Penambahan ruas jalan yang hanya 1 persen pertahun tidak dapat mengimbangi pertumbuhan kendaraan yang mencapai 11 persen. Selain itu penambahan ruas jalan hanya dapat menanggulangi kemacetan sesaat karena dengan penambahan jalan pasti akan memancing peningkatan jumlah kendaraan karena diikuti pembangunan perumahan baru juga.
SUASANA JALAN SETIAP HARI SABTU DAN MINGGU
Suasana jalanan di Jakarta ini akan sangat berbeda jika kita menyusurinya pada hari sabtu dan minggu (week-end), Jalanan terasa lenggang. Waktu tempuh Jakarta-depok misalnya pada week days biasanya butuh waktu 2-3 jam dihari weekend cukup 45 menit, untuk Jakarta-bekasi yang dihari biasa butuh waktu 2-3 jam cukup 30 menit saja.
Hal ini bisa terjadi karena berkurangnya kendaraan pribadi yang beroperasi karena sebagian besar kantor tutup pada hari sabtu dan minggu, sehingga sebagian besar kendaraan diistirahatkan di rumah atau dibawa keluar kota.
Para pengguna kendaraan umum pun merasa nikmat Karena kendaraanya dapat melaju dengan kencang, hari itu merupakan sorga bagi pengguna angkutan umum.
Ada banyak faktor yang menyebabkan jumlah kendaraan pribadi di Jakarta tumbuh tak terkendali diantaranya adalah murahnya biaya perolehan dan biaya operasional sehingga pemilik kendaraan terus menambah jumlah kendaraanya tanpa memikirkan dampaknya, sering ditemukan dalam satu rumah memiliki kendaraan pribadi lebih dari satu.
Selain itu Kendaraan pribadi masih dipandang bukan hanya sebagai sebuah alat transportasi tetapi lebih kepada penunjukan akan status social seseorang. Semakin banyak memiliki kendaraan maka makin terpandanglah orang tersebut dalam masyarakat
ALTERNATIF SOLUSI
kemacetan yang makin parah di Jakarta harus diselesaikan dengan upaya yang radikal, yaitu mengubah kebijakan transportasi. Jika upaya pemerintah setengah-setengah, masyarakat hanya tinggal menanti stagnasi lalu lintas di Jakarta
Ada beberapa solusi hal aturan yang dapat dilaksanakan oleh pemerintah misalnya dengan meniru kebijakan yang telah diterapkan di beberapa negara lain yang lebih dulu sukses dalam mengatasi kemacetan seperti Jepang dan Singapura
Kebijakan yang Pertama dan yang paling penting adalah pengaturan kembali tarif parkir. Pada tahun 1977 tahun, dimana Jakarta belum mengalami problem kemacetan seperti sekarang, tarif parkir kendaraan pribadi adalah 100 rupiah per jam padahal pada saat itu harga semangkok bakso adalah Rp 13 jadi tarif parkir saat itu sama dengan tarif 8 mangkok bakso.
Pada saat ini harga semangkok bakso adalah Rp.3.000 hingga Rp 3.500, maka tarif parkir kendaraan yang sesuai adalah Rp. 25.000,- per jam. Jika tarif parkir ditetapkan sedikit mahal maka para pemilik kendaraan akan berfikir dua kali untuk menggunakan kendaraan pribadi pada saat dapat digantikan dengan kendaraan umum, penggunaan kendaraan pribadi akan lebih dititik beratkan pada saat kegunaan secara masal bersama keluarga atau untuk berlibur. Hal Seperti ini yang biasa dilakukan oleh masyarakat di Singapura dan jepang. pada hari kerja mereka lebih suka menggunakan MRT (mass rapid transportation) seperti kereta api atau bis kota.
Sekadar perbandingan, bus memiliki kapasitas angkut 70 orang dengan hanya memerlukan ruang sebesar dua kendaraan . Sedangkan kendaraan pribadi hanya mempunyai kapasitas angkut empat orang. Padahal, dari survei yang pernah dilakukan diperoleh data kapasitas angkut kendaraan pribadi rata-rata hanya 1.3 orang, kecuali di daerah 3 in 1 yang mencapai tiga 3 orang.
Yang Kedua adalah pembatasan usia kendaraan , misal kendaraan yang berhak beredar di Jakarta adalah kendaraan yang berusia maksimal 15 untuk kendaraan pribadi dan 10 tahun untuk kendaraan umum melebihi 15 tahun maka kendaraan tersebut harus diremajakan dikeluarkan dari Jakarta atau dihancurkan.
Yang ketiga adalah pembatasan kepemilikan kendaraan dengan mensyaratkan setiap pemilik kendaraan pribadi harus menyediakan ruang bagasi dan kendaraan pribadi tidak boleh diparkir disimpan ditempat umum. Selain itu setiap pembelian kendaraan harus disertakan dengan denah rumah serta jika ingin menambah jumlah kendaraan pribadi harus mengajukan permohonan dengan melampirkan data jumlah keluarga.
Jika kendaraan pribadi berkurang di Jakarta maka kemacetan di Jakarta akan berangsur-angsur berkurang atau bahkan hilang seperti yang biasa kita nikmati di hari sabtu dan minggu.
No comments:
Post a Comment